Wednesday, February 14, 2018

Memperlakukan Anak sebagai Tawanan, Apa Maksudnya?


Berikut adalah catatan, hasil diskusi di grup WA Tunas Parenting 7-2.

Selaku moderator, saya menuliskan dengan M, dan peserta dengan P.

M: Saya tertarik dengan sebuah konsep pendidikan yang berbasis Islam, dimana dalam membagi fase perkembangan anak dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Usia 0-7 tahun, perlakukan anak sebagai raja.
2. Usia 7-14 tahun , perlakukan anak sebagai tawanan.
3, Usia 14-21 tahun, perlakukan anak sebagai sahabat.
Pembagian fase tersebut tentu saja menimbulkan berbagai penafsiran, sesuai pemahaman seseorang.
Mari kita berdiskusi, untuk berbagi pemikiran, memaknai fase kedua, perlakukan anak sebagai TAWANAN.
Apa yang teman-teman pahami dan perlakuan seperti apa yang sudah dipraktekkan ke anak-anak dan bagaimana reaksinya?

Jangan segan berbagi, bisa jadi apa yang kita sampaikan di sini sangat bermanfaat untuk teman lain dan menjadi sebab mengalirnya pahala jariah untuk kita.

P1: Mengenai tema hari ini "konsep pendidikan yang berbasis Islam, dimana fase perkembangan pada anak usia 7-14 tahun disebutkan memperlakukan anak sebagai tawanan", maaf ini  referensi dari mana ya? Atau ada tidak buku /sumber yang tertulis dengan pengarangnya, yang membicarakan mengenai konsep ini? Agar kita bisa punya pegangan, paling tidak bisa membrowsingnya di mbah google untuk memberi pendapat, ide atau sedikit argumentasi.

M: P1 bisa mencarinya di google (yang paling gampang, dengan kata kunci:  mendidik ala Ali bin Abi Thalib. Mengapa Ali? Beliau adalah sahabat yang dididik langsung oleh Rasulullah saw dan mendapat gelaran sebagai gudang ilmu.

P1: Ok , saya sudah bersahabat dengan Mbah Google he...he , tapi harus ada panduannya, biar nggak nyasar kemana-mana.

M: Sudah sesuai, kan? Panduan yang seperti apa? Kalau ke google, panduannya ya kata kunci



P2: Perlakuan anak sebagai tawanan ini memposisikan anak untuk selalu terpantau atau terjaga bukan, ya Mi? Di usia tersebut kan anak mengenal lingkungan baru selain keluarga, jadi anak-anak harus dijaga dari dampak atau pengaruh dari luar. Saya belum punya anak, tapi punya adik yang kebetulan masih masuk usia ini, bingung sih kadang kalau over protectif dia malah ngejauh dan menutup jadi nggak terbuka lagi sama saya.

M: Kalau kita mengacu pada panduan buku-buku pendidikan Islam, usia 7-14 tahun merupakan waktu melatih dan menguatkan mereka dalam berkomitmen, yang seharusnya sudah kita kenalkan masalah kedisiplinan dari fase sebelumnya.

P2: Berarti ini orang tua juga harus mencontohkan kedisiplinan itu sendiri ya.

M: Itu cara yang paling efektif.

P3: Anak saya usianya 8 setengah tahun,perempuan, memang nggak suka dirumah,maunya main ke rumah teman-temannya,dan di tempat saya anak seusia dia nggak yang perempuan, jadi dia lebih sering main dengan anak-anak  yang seusia adiknya, sekitar 4 5 tahunan. Apa bisa berpengaruhpada kedewasaannya,  yang seharusnya  usia 8 tahun, tapi masih seperti anak 4 5 tahunan?

M: Sebagai orang tua kita berusaha jeli melihat peluang untuk menerapkan pendidikan dalam lingkungan seperti apapun, selama kita belum mampu memberikan lingkungan yang ideal. Kita harus berfikir, nilai pendidikan apa yang bisa saya berikan dalam situasi seperti ini?

P3: Saya coba kasih pengertian ke dia jika dia lebih dewasa dari teman-temannya, saya ajarkan dia untuk bisa menjaga, menjadi kakak, tapi terkadang memang masih terlalu menjadi anak kecil yang suka rebutan dengan adiknya.

M: Sangat bisa dimaklumi, bahkan untuk anak yang mendapatkan lingkungan ideal menurut kita. Mengajarkan sebuah konsep, tidak bisa hanya dengan sekali penjelasan, langsung anak mengerti. di sinilah letak kesabaran orang tua yang tak berujung, untuk mengajarkan sebuah hal, butuh berulang-ulang mengajarkan dan mengingatkannya. Perlu kita ingat dan tak boleh melupakannya, anak adalah jiwa yang punya pemikiran dan keinginan sendiri, nah, tugas kita, bagaimana arah jiwa itu sesuai dengan yang Allah kehendaki.

P4: Alhamdulillah anak pertama saya usia 10 tahun dan anak ke 2 usia 8,5 th. Yang saya pahami dari konsep mendidik anak usia 7- 14 th ini yaitu dalam hal mendisiplinkan anak dengan membuat jadwalnya, ada konsekuensi yang harus diterima anak dari pendisiplinan ini, dan pada usia ini anak perempuan harus dekat pada ibunya sebab banyak hal yang harus mereka pelajari dan sebaliknya dengan anak laki-laki, mereka harus dekat dengan ayahnya. Sudah benarkah pemahaman saya, atau ada yang harus diluruskan?

M: Membuat jadwal adalah salah satu teknis dalam menanamkan kedisiplinan, tapi jangan sampai kita terlalu kaku dalam hal ini. Akan lebih penting bagaimana kita menanamkan kesadaran pada anak, bahwa mereka butuh untuk memiliki karakter disiplin, dan itu harus dilatih sejak dini. Hidup disiplin akan mempermudah hidup mereka. Dengan menanamkan kedisiplinan, anak juga menyadari bahwa mereka tidak bisa hidup semau-maunya, ada aturan yang harus diikuti, yang semua itu mengarah dan melatih agar anak akan dengan ringan untuk melaksanakan aturan-aturan Allah.

P5: Mi, usia 9 dan 10 tahun untul subuh di masjid, sudah mutlak atau masih bisa kita agak longgar?
M: Untuk urusan sholat subuh di masjid, bahkan sampai anak jenggotan masih sering diingatkan dan dimotivasi

P5: Efektif, kah kalau kita buat punishment & reward ke anak-anak usia 9 dan 10 tahun, kalau ada rutinitas harian yang belum sempurna dilakukan & jika tuntas dikerjakan anak-anak? Kalau menurut Umi reward dan punishment seperti apa yang sesuai ?

M: Untuk masalah reward dan punishment Umi biasa buat kesepakatan dengan anak, sesuai kemampuannya, karena intinya ada pada pembiasaan untuk kesadaran.

P6: Saya setuju, mendidik anak sebagai tawanan,  menurut saya di usia ini anak mulai diperkenalkan tentang hak dan kewajiban.  Contohnya,  saya ingat, mulai membantu ibu d waktu SD. Saya dan adik saya berjarak 3 tahun.  Pada waktu SD,  saya lupa umur berapa,  kami sudah dibagi tugas,  saya untuk urusan cuci piring,  adik saya menyapu. Dan akhirnya, sampai saat ini kami tetap berbagi tugas dan sudah tau tugas masing masing. Apapun kesibukan masing masing, tetap kewajiban harus dilaksanakan, malah sering tolong menolong. Dan itu sangat membantu.  Begitu, pun masalah belajar,  kami dibiasakan sebelum bermain,  PR harus sudah selesai dan jika tidak ada PR, mengulang kmbali pelajaran setidaknya membaca. 
Saya belum menikah, tapi saya adalah guru, mengajar kelas 3 SD.  Saya mulai belajar mendisiplinkan anak anak tentang hak dan kewajiban mereka.  Contohnya,  untuk absebsi kehadiran.  Saya mendapatkan fakta,  orang tua masih mengikuti anak yang merengek tidak masuk sekolah dengan alasan sederhana,  seperti malas atau lelah atau jenuh. Pada saat pertemuan wali murid saya menekankan untuk orang tua tidak selalu mengikuti kemauan anak yang seperti ini.  Dan masalah kehadiran itu adalah hal yang penting. Alhamdulillah, anak akhirnya terlatih dan mempunyai kesadaran sendiri.   Bahkan saya yang luar biasa bahagianya,  ada anak yang sakit tetap minta masuk sekolah,  dia mngatakan nanti ketinggalan pelajaran.  Begitupun wali murid,  jika anaknya tidak masuk, mereka menemui saya, karena biasanya,  nggaa ada kabar, ntah sakit atau izin. Disini pelajaran berharganya, jam pelajaran sekolah itu telah disadari pentingnya. Memberi reward dan punishment, ini cara yang sangat ampuh. 
Dan seperti yang Bunda Neny sampaikan tadi,  tidak kaku juga orag tua sebagai contoh (saya mnganggap saya orang tua utuk anak-anak di sekolah ) 
Dunia anak-anak adalah dunia bermain, kenapa dia akhirnya merasa ingin selalu sekolah? Karena dia merasa senang. Jadi saya berusaha mmbawa dunia mereka ke dalamnya, seperti games, memberi reward.  Yang paling sederhana rewardnya pujian, juga tepuk tangan. Memberi punishment seperti bernyanyi yang lucu di depan kelas. Saya mngajar di sekolah negeri,  yang tdak berbasis agama Islam, tapi mayoritas beragama Islam,  Alhamdulillah.  Sedikit sedikit demi sedikit saya menceritakan tentang perjalanan Rasullullah, sahabat-sahabat, Islam,  yang semua berhubungan dengan kejadian yang dialami, contoh kalau bertengkar.  Mereka antusias.  Dan selanjutnya menerapkan.  Saya mengatakan,  kalau marah setannya mmbesar.  Jadi harus banyak-banyak istighfar.  Mereka benar-benar istighfar keesokan hari dan seterusnya.  Dan itu saya lakukan juga.  Pernah ada temannya yang marah,  satu kelas langsung sama-sama mengatakan, jangan marah marah,  bagimu surga.  Disini saya merasa betapa beruntungnya saya menjadi guru

M: Masyaallah, pengalaman luar biasa, semoga saat diamanahi anak sendiri sudah lebih siap, walaupun pasti, menghadapi anak sendiri tidak bisa sama persis dengan murid. Sikap anak pada orang tua beda dengan sikapnya pada guru, itu sebabnya oran tua dan guru harus menjalin komunikasi sehat untuk membimbing dan mendidik generasi.


P6: Itu dia salah satu masalahnya, anak-anak sering mmbandingkan, "Nggak, Mis,  kata mama begini kata mama begini. Seperti maaf ibu ibu, arisan.  Anak anak sekarang kecil kecil sudah main arisan.  Akhirnya berantem. Trus nonton TV,  acara favoritnya sinetron karena orang tuanya juga memfavoritkan.  Maaf ibu ibu,  agak sulit membantahkan yang orang tua dukung. 

P7: Luar biasa pengalaman P6,  tapi ada sedikit masukan dari saya untuk penerapan setan membesar, sepertinya bahasanya diganti saja, misalnya "Kalau marah setan jadi senang artinya kita sudah mengikuti setan, jadi secara langsung kita sudah berteman dengan setan, kan kata Allah setan adalah musuh yang nyata.” Maaf ya saya juga guru, saling berbagi saja.

P6: : Terimakasih P7, masukannya.  Saya pernah mndengar seperti itu,  makanya saya pakai.  InsyaAllah saya perbaiki.  Tapi untuk anak-anak kecil, ini bekerja dengan baik karena membuat ngeri,  tapi saya sudah menyampaikan untuk tidak takut. 

P7: Saya punya pengalaman di sekolah, yang anak-anaknya sama sekali tidak peduli dengan kebersihan, padahal di sekolah sudah dilatih bahkan ada patroli kebersihan, tapi sepertnya tidak mempan. Setelah kita cari penyebabnya, ya ternyata di rumah tidak dibiasakan (maklum di sekolah tempat saya bekerja rata-rata menengah ke atas), jadi gimana, ya, untuk meminimalisir kondisi sepert ini?

M: : Kita boleh berharap perubahan pada anak didik di sekolah, tapi satu hal yg tdk bisa kita abaikan, keberadaan orang tua dan lingkungan rumah. Jalan terbaik adalah komunikasi dengan orang tua, dan sedikit menurunkan target capaian, supaya tidak stress. Upayakan mencari akar masalahnya, mengapa anak seperti itu? Bagaimana situasi di rumah? Bagaimana sikap orang tua? Bagaimana sikap lingkungan? Dengan tahu sumber masalah, solusinya lebih mudah ditemukan, insyaallah.


P6: Boleh saya berbagi sedikit? Sebelum semua dimulai,  pertama saya perkenalkan kalimat Kebersihan sebagian dari iman.  Allah suka yg bersih. Nah dari sini saya membuat beberapa peraturan yang kita sepakati bersama, 
Pertama,  piket kelas, yang tidak melaksanakan, diberi punishment menanam tanaman dirumah, dibawa kesekolah. 
Kedua, sebelum mulai pelajaran, memeriksa laci dan bawah meja dan kursi,  jika masih ada sampah segera dibuang.
Ketiga,  tidak memperbolehkan makan dikelas pada saat jam pelajaran. 
Keempat, memeriksa kuku setiap  Jumat dan Sabtu.
Karena baik hukumnya memotong kuku pada hari Jumat,  jadi pada hari Jumat diperiksa,  yang belum dipotong akan memotong kukunya sepulang sekolah. Sabtu periksa lagi, anak-anak pasti senang, apa yang sudah dikerjakan dilihat lagi.
Yang terakhir, murid perempuan berambut panjang, harus mengikat atau pake bando biar terlihat rapi. Karena anak-anak kalau udah istirahat,  banyak keringat acak acakan, kummel.
Tapi, cara yang paling ampuh itu "cerewet", kita rajin-rajin mengingatkan.  Saya, mah begitu, cerewet.  Lihat sampah 1, pasti langsung mengingatkan. Itu untuk kelas,  tap kalau lebih luas, satu sekolah. Susah juga.

P8: Subhanallah, keren! Sekolah anak saya tidak seperti itu, kelas 2 SD, karena kebetulan wali kelasnya cowo, anak saya yang TK juga kurang ada pelajaran disiplin, buang sampah, antri, kurang sekali, jadi di rumah saya ajari buang sampah ditempatnya, Alhamdulillah kemana-mana selalu bawa kantong kresek sendiri.
M: Terima kasih P6, sudah berbagi pengalaman yang menginspirasi.

P9: Bagaimana trik-trik mendidik anak yang emosional pada usia 12 tahun ?

P10:  Anak saya 11 thn. Permasalahan saya, ketika menghadapi anak, saya merasa hilang kesabaran ketika si kakak  ini tidak melaksanakan intruksi yang saya berikan dengan kata-kata yang santun. Malah lebih seperti menunda-nunda. Tapi ketika saya marah dan habis sabarnya, si kakak malah makin mogok, ikut marah juga. Gimana ya menghadapi tipikal anak yang seperti ini ? Mungkin pernah ada yang mengalami?

P13: Saya termasuk orang tua yang nggak sabaran, jadi seringnya keluar asap dari kepala.

M: kalau kita merasa habis kesabaran, ya tambah lagi, minta sama Allah untuk ditambah kesabaran

P14: Saya ini yang belum bisa kontrol dengan baik emosi, dan perlu belajar lebih untuk memahami anak-anak, menyesal itu pasti kalau sudah lepas kontrol, kadang saya menangis sendiri, ya  Allah kok saya nggak bisa kayak ibu-ibu yang lain, yang bisa sabaaaar banget menghadapi anak-anaknya.

M : sama saja, semua ibu pernah mengalami hal seperti itu, jangan terlalu menyalahkan diri. Berdamai dengan hati, ini proses. Kalau dipikir-pikir memang kita salah, jangan segan minta maaf ke anak, dengan menjelaskan, salahnya dimana. Juga minta tolong bantu anak supaya jaga sikap, supaya ibunya ga mengulang kesalahan yg sama. Setiap anak bersalah, tunjukkan kesalahannya, kalau bisa tanpa marah. Sebenarnya, yg kita inginkan, perubahan pada anak atau puas memarahi mereka sebagai pelampiasan emosi? Kalau kita marah karena anak bersalah, setelah amarahnya reda, minta maaf dan tunjukkan apa yg menyebabkan kita marah.

P11: Umi, anakku laki-laki usia 7 tahun  belum ada minat belajar,belajar dirumah mengerjakan PR harus marah-marah dulu baru dkerjakan.

P12: Yang marah-marah anaknya atau ibunya, nich?

P11: Ibunya, yang marah kalau dibicarakan baik-baik, anaknya ngedumel kenapa sih aku harus belajar terus, di sekolah aku belajar di rumah belajar lagi, aku cape, belum trampil membaca dan menulis.

P12: Belum trampil baca tulis? Kelas berapa?

P11: Ada saran dari teman, biar saja dulu baru kelas 1 nanti juga mau belajar.

P13: Kalau saya boleh sharing, tidak masalah anak umur 7 tahun belum bisa membaca, pelan-pelan nanti juga bisa. karena bisa jadi memang belum matang usianya untuk sekolah.

M: setelah marah-marah, cape nggak? Kalau marah menyebabkan anak lebih baik, nggak apa-apa, sih he he he. Coba dengan berbagai trik, dan cermati kondisi emosi anak dalam setiap kejadian, suatu saat kita akan menemukan cara yang tepat untuk kondisi emosi tertentu. Metode mendidik itu bukan hanya dengan marah, #eh, malah nggak ada yang mengajarkan metode pendidikan dengan cara marah, yang saya tahu, metode yang diajarkan Rasulullah itu:
1. memberi contoh/ dengan keteladanan
2. penjelasan/ pengajaran
3. pembiaran/pengabaian
4. hukuman
Tuh, nggak ada, kan metode marah-marah?

P10: Ya cape, Umi, tapi Alhamdulillah walau denga tangisan dia mau belajar, tapi saya khawatir kalau dia jadi terbiasa dengan kondisi seperti itu, tapi kadang kalo dia gak belajar saya ajak ngobrol tentang cita-citanya,mau nya apa,kenapa harus belajar? Alhamdulillah saat ini sudah agak semangat untuk ke sekolah walau di sekolah dapat laporan setiap pelajaran PAI entah karena faktor apa, selalu belum mau ikut pelajaran tsb, sudah saya komunikasikan dengan wali keas,  belum ada solusi jitu. Semangat untukk ikut TPA tanpa paksaan,sholat juga sudah mulai antusias walau kadang masih naik turun.

M: Alhamdulillah, dengan kesabaran, insyaallah semua berjalan sesuai harapan, asal jangan terlalu tinggi tuntutannya. Kemampuan anak berbeda, juga moodynya

P10: Iya, Mi...anak saya moody banget.

P15: Saya punya anak 3 orang usia 7, 12, 14, th. Yang 14 tahun, laki-laki, terkadang kalau merekasedang  berkumpul, sering bertengkar, tapi kalau mereka ada yang pergi salah satu (kebetulan yang tertua di pondok) adiknya suka menanyakan, kapan kakaknya pulang, trus baru dua hari berkumpul, bertengkar lagi. Kalau saya ikut campur salah satu bilang, umi nggaa sayang sama Adek, atau katanya lagi, Umi pilih kasih. Terkadang saya menyikapinya sesuai dengan usia mereka, tapi terkesan oleh kakaknya, saya tidak adil.  Saya mencoba cari waktu untuk ngobrol dari hati ke hati dengan mereka, berdua (gentian), tapi kadang nggak ketemu solusinya, atau faktor saya sendiri ya yang salah, terlalu banyak tuntutan? Galau!

M: Kita harus percaya diri jadi orang tua😀, jangan mudah merasa bersalah atau galau. Sikap kita harus jelas, sehingga anak mudah memahami. Anak sedang belajar berkomunikasi, memahami pesan yang disampaikan, baik verbal maupun body language.  Mereka belajar dari kita, orang tuanya, orang yang terdekat. Sikap kita yang tidak jelas, akan membingungkan mereka.

P15: He he iya nih, saya sebagai ibu masih harus terus belajar memahami anak, apalagi dengan bahasa verbal yang belum begitu baik, terimakasih Bu Neny.

P16:  Saya ibu dengan 4 orang anak, dengan usia yang tidak begitu jauh jaraknya 3,8,10 dan 12. Sedikit cerita, mereka berempat saya tempatkan sejak play group di sekolah islam terpadu dan pada tempat yang sama, dengan harapan di sana mereka mendapatkan pendidikkan terutama keislaman, keimanan yang lebih, yang mungkin terlewat kami berikan di rumah dan disatukan dalam sekolah yang sama agar bisa saling menjaga antara satu dengan yang lain. Tetapi lingkungan itu bukan rumah atau sekolah saja, masih ada lingkungan sosial di sekitar mereka terutama medsos, yang terkadang mereka sudah lebih dulu mengetahui daripada kami. Terus terang, pada usia anak-anak saya yang usia sekolah dan pra remaja, saya lebih protektif, terlebih kepada yang wanita, karena mereka harus lebih memperhatikan sikap dan prilaku sebagai muslimah. Dari mereka balita, saya  berusaha untuk mereka mengenal hijab, sedangkan yang laki-laki, kebetulan hanya satu, saya juga protektif, tapi degnna cara terus mengingatkan, bahwa dia adalah calon imam untuk dirinya, saudara perempuannya dan ibunya. Terkadang sikap protektif saya itu agak berlebih, terutama soal tontonan, hp/medsos, dan juga pergaulan, sampai-sampai anak-anak saya harus lapor ke saya, nama teman-temanya, orang tuanya bahkan kalau ada hp ortunya saya minta untuk saya jadikan teman supaya bisa dimonitor. Apakah ini yang namanya cara mendidik sebagai tawanan, karena yang saya baca hampir menyerupai walaupun saya agak lebih sedkit .....he...he,  mohon pencerahannya bu Neny, jazakillah

P16: Oh ya cara penerimaan mereka berempat juga berbeda-beda, terkadang harus ada tangisan, ngambek masuk kamar atau nggka mau makan karena protes, tapi alhamdulillah walaupun kami, terutama saya terkadang harus ikut nangis menyendiri di kamar sebentar karena harus menahan marah atau ada rasa hopeless, tapi tetap kita yang harus duluan mengalah , terkadang minta maaf ke mreka supaya cepat masalahnya teratasi.

M : Alhamdulillah, P16 diberi kemampuan untuk menghadirkan lingkungan yang lebih kondusif, ibarat hidangan, menunya mewah! Itu tentu sangat dirindukan oleh hampir semua ibu, sehingga sangat membantu dalam proses mendidik anak-anak. Setiap anak adalah unik, dengan karakter yang berbeda-beda, walaupun mereka saudara seibu seayah. Jiwa mereka punya keinginan dan kebebasan menentukan apa yang akan dilakukannya. Di sinilah orang tua terus belajar, agar semakin bijak, memadukan apa keinginannya kepada anak, yang diyakini untuk
kebaikan anak, dengan keinginan anak yang mungkin dianggap kurang baik oleh orang tua. Kita tidak bisa/ boleh otoriter, tetapi tidak baik juga kalau terlalu permisif, mengikuit semua mau anak. wallahu 'alam.

P16: Jazakillah Bu Neny, atas pencerahannya, terus terang untuk mengatasi stress yang hampir selalu muncul, saya  bilang sama diri sendiri, bahwa sabar itu tidak terbatas, belajar memahami keluarga itu tidak ada akhir, terkadang solusi belum tercapai, ya saya mengadu sambil sesenggukan kepada Allah, kemudian manjakan sebentar diri ini, saya kalau kesal, di kamar mandi itu bisa lama, kemudian makan sesuatu yang dingin dan manis, kaya juice atau ice cream coklat (menurut beberapa sumber manis dan coklat bisa membuat rasa bahagia dan gembira)  he....he , untuk ke anak yang agak sulit, saya terkadang keras tapi kadang saya biarkan dulu, bahkan ambil tindakan diam, jadi mereka yang suka salah tingkah, baru ajak bicara dari hati ke hati, biasanya saat mau tidur dipeluk atau dipijit, mengalir deh cerita mereka sampai minta maaf dan tertidur, memang perlu kesediaan waktu untuk itu, ini sekedar pengalaman mungkin bisa jadi sedikit manfaat untuk bunda-bunda yang lain.

M: Terima kasih sharingnya, sangat bermanfaat, terutama yang belum atau baru diamanahi 1 anak.



No comments:

Post a Comment